Artikel

Satgas Premanisme dan Ancaman Kebebasan Berserikat

304
×

Satgas Premanisme dan Ancaman Kebebasan Berserikat

Share this article

Oleh: Rusdianto Sudirman  Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare.

Wartasulselnews.com – Pemerintah baru-baru ini membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Premanisme sebagai respons atas meningkatnya keresahan masyarakat terhadap praktik pemalakan, penguasaan lahan ilegal, dan aktivitas kelompok tertentu yang kerap menimbulkan kekerasan, bahkan mengganggu pelayanan publik dan aktivitas ekonomi.

Salah satu narasi yang cukup menyita perhatian adalah rencana pembubaran organisasi kemasyarakatan (ormas) yang tidak berbadan hukum, terutama yang kerap melakukan demonstrasi dengan cara-cara anarkistis.

Namun demikian, langkah pemerintah ini menimbulkan sejumlah pertanyaan konstitusional dan implikasi terhadap kebebasan sipil, khususnya hak berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat di muka umum. Persoalannya bukan sekadar soal legalitas ormas, tetapi bagaimana negara menyeimbangkan antara penegakan ketertiban umum dan perlindungan hak-hak dasar warga negara dalam negara hukum yang demokratis.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), sebagaimana telah diubah dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 dan ditetapkan menjadi UU Nomor 16 Tahun 2017, membedakan antara ormas berbadan hukum dan tidak berbadan hukum. Ormas tidak berbadan hukum tetap diakui legal keberadaannya sepanjang mendaftar di pemerintah daerah atau instansi teknis terkait.

Artinya, pembentukan ormas tidak harus selalu melalui pengesahan sebagai badan hukum perkumpulan di Kementerian Hukum dan HAM. Justru, UU Ormas membuka ruang bagi warga negara untuk membentuk ormas tanpa status badan hukum, sepanjang tidak melanggar hukum, tidak meresahkan masyarakat, dan tidak mengancam keutuhan NKRI.

Maka, ormas yang tidak berbadan hukum tidak serta-merta dapat dinyatakan ilegal atau dibubarkan. Pembubaran ormas, baik yang berbadan hukum maupun tidak, memiliki prosedur yang ketat dan tidak bisa hanya didasarkan pada keputusan Satgas atau aparat keamanan semata.

Pasal 62 dan 63 UU Ormas mengatur bahwa ormas yang melakukan pelanggaran dapat dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian kegiatan, hingga pencabutan status badan hukum. Sementara ormas yang tidak berbadan hukum dapat dikenai sanksi pembekuan dan pelarangan kegiatan, tetapi harus melalui tahapan yang akuntabel dan proporsional.

Dalam konteks ormas yang dianggap mengganggu ketertiban umum, aparat penegak hukum dapat bertindak secara represif hanya apabila terjadi pelanggaran pidana misalnya penghasutan, kekerasan terhadap orang atau barang, atau penguasaan tanah secara melawan hukum. Namun, jika tindakan hanya sebatas orasi atau demonstrasi, sekalipun keras dan provokatif, maka pendekatannya semestinya persuasif dan berdasarkan hukum, bukan represif dan reaktif.

Yang lebih krusial, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 82/PUU-XI/2013 menegaskan bahwa pembubaran ormas, terutama yang telah berbadan hukum, hanya dapat dilakukan melalui putusan pengadilan. Hal ini menjadi prinsip penting dalam negara hukum tidak boleh ada pembubaran sepihak oleh eksekutif.

Pembentukan Satgas Premanisme tentu bermaksud baik. Akan tetapi, jika kewenangannya tumpang tindih dengan kepolisian, kejaksaan, dan institusi penegak hukum lainnya, maka yang terjadi bukan penegakan hukum, melainkan penyalahgunaan kekuasaan.

Satgas semacam ini berisiko menjadi alat politik untuk membungkam kelompok yang kritis terhadap pemerintah, terutama bila label “preman” atau “ormas ilegal” digunakan secara sewenang-wenang. Mengingat belum ada peraturan presiden atau payung hukum jelas yang mengatur kewenangan dan mekanisme kerja Satgas ini, ada kekhawatiran bahwa tindakan pembubaran ormas atau pelarangan demonstrasi akan bersifat represif.

Lebih berbahaya lagi, pembubaran paksa terhadap ormas atau pelarangan demonstrasi oleh kelompok tak berbadan hukum bisa menciptakan preseden yang merusak demokrasi. Sebab, banyak gerakan sosial yang historisnya dimulai tanpa legalitas formal. Apakah kelompok petani, nelayan, atau mahasiswa yang turun ke jalan tanpa status hukum tertentu juga akan dianggap melawan hukum?

Dalam konteks penegakan hukum, negara memiliki kewajiban melindungi warga dari ancaman premanisme, kekerasan, dan pemerasan. Namun, tidak semua ormas yang tidak berbadan hukum adalah pelaku premanisme. Di sisi lain, tidak semua ormas berbadan hukum bebas dari praktik menyimpang.

Pemisahan yang tegas antara “premanisme” dan “aktivisme” harus dijaga. Negara wajib hadir untuk menindak tegas kelompok yang menggunakan kekerasan atau intimidasi, tetapi harus tetap menghormati hak warga negara untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat termasuk melalui ormas yang tidak berbadan hukum sekalipun.

Solusi terhadap ormas yang sering membuat kegaduhan bukanlah pembubaran semena-mena, melainkan melalui mekanisme hukum yang sah, termasuk pemanggilan, penyelidikan, pemberian sanksi administratif, hingga pemrosesan pidana jika ada unsur pelanggaran hukum.

Ketertiban umum adalah tujuan negara yang tercantum dalam konstitusi, tetapi tidak boleh dijadikan dalih untuk membatasi kebebasan sipil secara sewenang-wenang. Pembentukan Satgas Premanisme harus dibarengi dengan transparansi, akuntabilitas, dan kontrol hukum yang ketat. Jangan sampai demokrasi yang kita bangun dengan susah payah justru dikhianati oleh instrumen kekuasaan yang diciptakan tanpa kendali.

Pembubaran ormas, baik berbadan hukum maupun tidak, bukan semata persoalan teknis administratif, melainkan ujian atas komitmen negara terhadap prinsip negara hukum dan demokrasi konstitusional. (*)







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You cannot copy content of this page

error: Content is protected !!