Oleh : Rusdianto Sudirman.
Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare.
Wartasulselnews.com – Dalam beberapa bulan terakhir, publik menyaksikan fenomena yang menggelitik, kehadiran Tentara Nasional Indonesia (TNI) di berbagai ranah sipil, yang sebenarnya bukan merupakan domain tugas pokoknya.
Mulai dari pengawalan makan siang gratis, penanganan penipuan online, penertiban premanisme, pengelolaan koperasi, hingga pengurusan anak-anak nakal yang dibina di barak TNI.
Semua ini menjadi indikasi bahwa dwi fungsi TNI sebuah konsep yang secara konstitusional dan historis telah dikritisi dan dijauhkan sejak Reformasi 1998 tengah merangkak kembali.
Fenomena ini seolah menunjukkan bahwa negara mengalami defisit kapasitas birokrasi sipil untuk mengurusi urusan publik, sehingga menyerahkannya kepada institusi militer. Ini adalah gejala yang berbahaya, bukan hanya karena melanggar prinsip-prinsip negara demokratis yang menjunjung tinggi supremasi sipil, tetapi juga karena berpotensi menabrak batas-batas konstitusional tugas dan fungsi TNI.
Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa TNI bertugas sebagai alat negara di bidang pertahanan.UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI secara eksplisit menegaskan bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi segenap bangsa dari ancaman militer maupun bersenjata.
Memang benar bahwa dalam Pasal 7 ayat (2) UU TNI disebutkan bahwa TNI dapat melaksanakan tugas operasi militer selain perang (OMSP), seperti membantu tugas pemerintah di daerah dan mengatasi aksi terorisme. Namun, pelibatan TNI dalam OMSP haruslah berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, melalui Keputusan Presiden atau permintaan resmi dari lembaga terkait, dan tetap harus mematuhi prinsip subsidiaritas.TNI baru dapat dilibatkan bila aparat sipil tidak mampu menjalankan tugasnya.
Namun belakangan, keterlibatan TNI justru terjadi dalam situasi yang tidak mencerminkan urgensi atau keadaan luar biasa. Penanganan kejahatan siber, pemeliharaan ketertiban sosial, bahkan urusan distribusi makanan, sejatinya adalah domain kementerian/lembaga dan aparat sipil. Pelibatan TNI dalam kegiatan tersebut yang tampaknya makin rutin dan sistematis patut dipertanyakan dasar legalitas dan urgensinya.
TNI memang dikenal sebagai institusi dengan kedisiplinan tinggi dan efektivitas operasional yang baik. Namun, menyerahkan berbagai urusan sipil kepada TNI hanya karena “pemerintah sipil kurang mampu” adalah jalan pintas yang menggoda tapi menyesatkan. Kita berisiko menciptakan ketergantungan struktural terhadap militer, yang pada gilirannya akan mengikis kapasitas dan wibawa institusi sipil.
Lebih dari itu, pelibatan TNI secara berlebihan dalam urusan sipil membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hak asasi manusia, karena TNI bukanlah institusi penegak hukum yang tunduk pada prinsip due process of law. Fungsi penegakan hukum dan pelayanan publik seharusnya dijalankan oleh lembaga yang memiliki mekanisme akuntabilitas sipil dan tunduk pada sistem peradilan umum.
Fenomena kembalinya dwi fungsi TNI tidak dapat dilepaskan dari lemahnya reformasi sektor keamanan pasca reformasi. Sejumlah regulasi penting yang seharusnya menjadi pilar penguatan supremasi sipil belum kunjung dirampungkan, misalnya RUU Keamanan Nasional, revisi UU Peradilan Militer, hingga pengaturan pelibatan TNI dalam tugas-tugas non-militer secara lebih ketat.
Ironisnya, justru saat supremasi sipil melemah, ada upaya sistematis untuk memperluas kembali peran TNI ke ranah non-militer. Ini terlihat pasca revisi UU TNI yang memberi ruang pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme, bencana, siber, dan keamanan laut semuanya domain sipil. Jika tidak dikontrol, UU TNI terbaru dapat menjadi pintu masuk legalisasi kembali dwi fungsi dalam wujud baru.
Pemerintah dan DPR seharusnya waspada. Menghidupkan kembali dwi fungsi, dalam bentuk apa pun, adalah langkah mundur dari cita-cita reformasi. Rakyat Indonesia telah membayar mahal harga reformasi untuk menempatkan militer kembali ke baraknya dan mengokohkan supremasi sipil.
Peran militer memang penting, namun harus tetap berada dalam kerangka pertahanan negara. Ketika TNI mulai mengurusi anak nakal, penipuan daring, dan makan siang gratis, kita patut bertanya, apakah negara ini kekurangan birokrasi sipil yang mumpuni? Ataukah kita sedang menyaksikan “normalisasi” militerisasi ruang sipil secara perlahan?
Demokrasi sejati hanya bisa tegak bila sipil memimpin, militer tunduk pada otoritas sipil, dan hukum menjadi panglima. Kembalinya dwi fungsi dalam bentuk baru bukan hanya kemunduran demokrasi, tetapi juga pengkhianatan terhadap semangat reformasi.(*)