Artikel

Koperasi Merah Putih dan BUMDes: Menata Ulang Arah Ekonomi Desa

569
×

Koperasi Merah Putih dan BUMDes: Menata Ulang Arah Ekonomi Desa

Share this article

Oleh: Rusdianto Sudirman Dosen IAIN Parepare (Mantan Pendamping Profesional Desa 2015-2018).

Wartasulselnews.com – Pemerintah kembali menggulirkan kebijakan baru dalam pemberdayaan ekonomi desa melalui pembentukan koperasi “Merah Putih” di setiap desa. Inisiatif ini secara normatif dimaksudkan untuk memperkuat kemandirian ekonomi desa berbasis semangat gotong royong.

 

Namun, di lapangan, kebijakan ini menimbulkan persoalan baru: tumpang tindih kelembagaan dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang sebelumnya telah menjadi wadah resmi kegiatan ekonomi desa dan menerima penyertaan modal dari dana desa.

Secara hukum, BUMDes merupakan badan usaha yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan diatur lebih lanjut dalam Permen desa PDTT Nomor 3 Tahun 2021. BUMDes memiliki status badan hukum yang diakui negara, serta legitimasi dalam mengelola aset dan dana desa untuk usaha yang berorientasi pada kesejahteraan warga.

Menurut Penulis adanya koperasi “Merah Putih” sebagai entitas baru berpotensi menimbulkan konflik hukum dan administratif. Pertama, tidak terdapat landasan hukum yang secara eksplisit mengintegrasikan koperasi desa ini dalam sistem tata kelola desa yang telah dibentuk oleh UU Desa. Kedua, dari perspektif keuangan negara, terdapat risiko penggunaan ganda dana desa untuk dua lembaga yang memiliki tujuan serupa, yakni kesejahteraan ekonomi warga.

Hambatan utama adalah bagaimana merancang relasi yang sinergis antara BUMDes dan koperasi tanpa memicu konflik kelembagaan. Pemerintah desa berada dalam posisi dilematis di satu sisi mereka wajib mempertanggungjawabkan penggunaan dana desa yang telah disuntikkan ke BUMDes, di sisi lain mereka didorong membentuk koperasi baru dengan struktur dan pengelolaan yang berbeda.

Dari sisi hukum tata kelola, ketidakhadiran regulasi integratif menempatkan pemerintah desa pada risiko administratif dan pidana jika salah langkah dalam mengalokasikan anggaran atau mendirikan lembaga baru tanpa dasar hukum yang kuat.

Menurut penulis, daripada membentuk koperasi baru yang berdiri terpisah, pemerintah sebaiknya merumuskan pendekatan integratif. Misalnya, koperasi dapat menjadi unit usaha di bawah BUMDes atau menjalin kemitraan formal yang diatur dalam peraturan desa. Dengan demikian, struktur kelembagaan tidak bertumpuk, dan dana desa tetap dikelola secara akuntabel dalam satu sistem.

Penting pula adanya harmonisasi regulasi antara Kementerian Desa dan Kementerian Koperasi. Tanpa penyelarasan itu, kebijakan yang baik di atas kertas akan terjebak dalam konflik pelaksanaan di lapangan.

Masyarakat desa tidak butuh banyak lembaga ekonomi, yang mereka butuhkan adalah lembaga yang bekerja efektif, profesional, dan berpihak pada kesejahteraan. Pemerintah harus jeli melihat, bahwa keberhasilan ekonomi desa bukan pada banyaknya nama lembaga, tetapi pada sinergi dan efektivitas pengelolaan yang sesuai asas hukum dan kebutuhan warga.(*)







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You cannot copy content of this page

error: Content is protected !!