News

Koperasi Merah Putih atau Korporasi Merah Putih

415
×

Koperasi Merah Putih atau Korporasi Merah Putih

Share this article

Penulis: Rusdianto Sudirman 

Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare.

OPINI – Pasca Pemilu 2024 dan setelah dilantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, menegaskan komitmen untuk melanjutkan hilirisasi ekonomi sebagai tulang punggung pembangunan nasional. Salah satu bentuk konkret yang belakangan digaungkan adalah pendirian Koperasi Merah Putih, yang digadang-gadang menjadi wadah partisipasi rakyat dalam kepemilikan atas hilirisasi sumber daya alam dan distribusi kesejahteraan nasional.

Gagasan ini terdengar menjanjikan. Namun, sebagai akademisi hukum tata negara, saya memandang perlu untuk menguji konsep ini secara normatif, baik dari perspektif konstitusi, regulasi sektoral, maupun prinsip demokrasi ekonomi yang dijunjung tinggi dalam Pasal 33 UUD 1945.

Koperasi, sebagai badan hukum, memiliki dasar konstitusional yang kuat. Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Ayat ini, dalam sejarah pemikiran ekonomi konstitusional Indonesia, ditujukan langsung pada sistem koperasi. Bung Hatta menyebut koperasi sebagai “tulang punggung ekonomi Indonesia”, bukan semata sebagai bentuk kelembagaan, tetapi sebagai representasi dari etika ekonomi yang berkeadilan sosial.

Jika Koperasi Merah Putih memang dibentuk untuk menjadi instrumen rakyat dalam penguasaan hilirisasi, maka secara prinsip tidak ada yang inkonstitusional.

Namun, ada syarat: koperasi tidak boleh sekadar menjadi jualan politik para elite atau korporasi untuk menghindari mekanisme pasar atau pengawasan negara. Koperasi harus tumbuh dari, oleh, dan untuk anggota yang sejatinya rakyat.

Pertanyaannya, apakah Koperasi Merah Putih yang dimaksud dalam program ini betul-betul akan menjadi koperasi dalam pengertian hukum? Karena diberbagai tempat Pengurus Koperasi merah putih yang sudah dibentuk melalui musyawarah khusus di tingkat desa/kelurahan justru di intervensi oleh oknum Camat karena bukan bagian tim sukses walikota terpilih.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian menyebutkan bahwa koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi, dengan melandaskan kegiatannya pada prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat. Hal ini diperkuat oleh PP No. 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM.

Jika Koperasi Merah Putih hendak berperan dalam sektor hilirisasi, maka ia harus didirikan secara sah sesuai prosedur hukum koperasi, memiliki rapat anggota, AD/ART, kepengurusan yang demokratis, dan kegiatan usaha yang berbasis pelayanan anggota. Tanpa struktur ini, koperasi hanya akan menjadi stempel hukum bagi kepentingan non-kooperatif.

Yang harus dihindari adalah kooptasi bentuk hukum koperasi oleh oligarki bisnis. Ini akan melukai semangat konstitusi dan mereduksi cita-cita demokrasi ekonomi. Pendirian koperasi oleh kekuasaan, apalagi jika tidak melibatkan partisipasi aktif rakyat, justru akan menciptakan state-sponsored corporatism, bukan koperasi rakyat.

Dalam konteks hilirisasi, kita bicara tentang sektor strategis: pertambangan, energi, kehutanan, hingga pangan. Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi, seperti Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003 (perkara uji UU Ketenagalistrikan), Mahkamah menegaskan bahwa “penguasaan oleh negara” mencakup fungsi pengaturan (regelendaad), pengelolaan (bestuursdaad), pengurusan (beheersdaad), pengawasan (toezichthoudensdaad), dan pengusahaan (ondernemingsdaad).

Jika koperasi hendak terlibat dalam pengusahaan, maka harus dipastikan bahwa ia bukan substitusi dari fungsi negara yang semestinya tidak diserahkan kepada entitas privat. Di sinilah dilema hukum koperasi dalam hilirisasi, koperasi adalah entitas privat, tetapi didorong mengambil alih peran publik.

Solusinya bukan menolak keterlibatan koperasi, melainkan memastikan koperasi bekerja sebagai mitra negara dengan sistem tata kelola yang transparan, akuntabel, dan berbasis partisipasi. Koperasi Merah Putih bisa menjadi katalis, asalkan tidak menyingkirkan BUMN, pemerintah daerah, atau masyarakat adat dalam proses hilirisasi.

Masalah menjadi lebih kompleks ketika gagasan Koperasi Merah Putih juga diarahkan untuk mengelola program strategis seperti penyediaan makan bergizi gratis, distribusi pupuk bersubsidi, dan gas LPG 3 kg. Program-program ini sejatinya berada dalam ranah layanan publik yang tanggung jawab utamanya ada pada negara.

Jika dikelola oleh koperasi, timbul sejumlah tantangan hukum dan tata kelola seperti Tumpang Tindih Kebijakan dan Kelembagaan. Program makan bergizi gratis telah masuk dalam ranah Kementerian Pendidikan dan Kementerian Kesehatan. Distribusi pupuk dan LPG telah memiliki kerangka distribusi sendiri melalui BUMN seperti Pupuk Indonesia dan Pertamina. Kehadiran koperasi tanpa koordinasi lintas sektor berpotensi menciptakan dualisme kebijakan, tumpang tindih regulasi, dan konflik kelembagaan.

Selain itu risiko ketidak terjangkau dan ketidaktepatan sasaran karena Koperasi sebagai entitas berbasis keanggotaan, memiliki keterbatasan jangkauan geografis dan sosial. Jika dipaksakan mengelola distribusi berskala nasional tanpa kesiapan infrastruktur dan data penerima manfaat, maka risiko penyimpangan, eksklusi kelompok rentan, dan pemborosan anggaran akan tinggi.

Program makan gratis dan subsidi bersifat nirlaba dan perlu prinsip keadilan distribusi, sedangkan koperasi tetap merupakan badan usaha. Ini menimbulkan dilema: bagaimana koperasi tetap efisien sebagai unit usaha, tapi sekaligus menjalankan mandat pelayanan publik?

Jika koperasi menerima anggaran negara untuk menjalankan program-program tersebut tanpa mekanisme pengadaan yang fair dan akuntabel, maka akan berisiko melanggar prinsip persaingan usaha sehat dan pengelolaan APBN/APBD. Koperasi tidak boleh menjadi “jembatan politis” untuk mengalihkan fungsi negara ke tangan kelompok tertentu.

Gagasan hilirisasi ekonomi berbasis koperasi adalah langkah maju dalam mewujudkan cita-cita keadilan sosial. Namun, dalam negara hukum, tidak ada kebijakan sebaik apa pun yang boleh dijalankan di luar rel konstitusi dan hukum. Koperasi Merah Putih harus diuji legalitasnya, diawasi akuntabilitasnya, dan dijaga agar tidak berubah menjadi “korporasi merah putih” yang hanya menguntungkan segelintir elite.

Pemerintah perlu menetapkan regulasi yang tegas, mungkin dalam bentuk Perpres atau revisi UU Perkoperasian, untuk memastikan bahwa Koperasi Merah Putih tidak menjadi lembaga semu. Harus ada batas tegas antara peran koperasi, negara, dan BUMN. Di sinilah peran sentral hukum tata negara untuk memastikan bahwa hilirisasi, seberapa pun strategisnya, tetap berjalan dalam kerangka demokrasi ekonomi yang adil, transparan, dan berpihak pada rakyat.







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You cannot copy content of this page

error: Content is protected !!