News

Vonis Tanpa Niat Jahat, Kuasa Anggaran Menanggung Derita

895
×

Vonis Tanpa Niat Jahat, Kuasa Anggaran Menanggung Derita

Share this article
Oplus_131072

Oleh: Rusdianto Sudirman

Dosen IAIN Parepare, Ketua LBH Ansor Kota Parepare.

 

WARTASULSELNEWS.COM Putusan majelis hakim terhadap Tom Lembong, yang dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara karena menyetujui kebijakan impor menyisakan tanda tanya hukum yang serius. Dalam pertimbangan hakim disebutkan bahwa Tom Lembong tidak memiliki niat jahat (mens rea) dan tidak melakukan penyalahgunaan wewenang secara pribadi. Namun, karena kebijakan yang ia setujui menyebabkan keuntungan sepihak bagi importir dan kerugian bagi negara, ia tetap dijatuhi pidana.

Konstruksi pertanggungjawaban seperti ini bukan sekadar membingungkan dari perspektif rechtstaat, tapi juga menyimpan bahaya dalam penegakan hukum pidana korupsi yang mengedepankan asas kepastian dan keadilan. Maka perlu dikaji lebih dalam, sejauh mana pejabat seperti Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana ketika tindakan administratif atau kebijakan yang mereka jalankan ternyata menimbulkan akibat hukum berupa kerugian negara?

Dalam hukum pidana, prinsip utama yang tak boleh diabaikan adalah asas geen straf zonder schuld, tiada pidana tanpa kesalahan. Kesalahan itu baik dalam bentuk kesengajaan (dolus) maupun kelalaian (culpa) harus dapat dibuktikan secara meyakinkan. Dalam perkara Lembong, hakim menyatakan tidak ditemukan niat jahat atau unsur kesalahan pribadi, namun tetap menjatuhkan pidana berdasarkan akibat dari kebijakan yang ia setujui.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius, apakah pertanggungjawaban pidana dalam kasus korupsi kini hanya bertumpu pada akibat, tanpa menyoal niat maupun peran yang sebenarnya dari pejabat publik?

Peran KPA dan PPK secara hukum bersifat administratif. KPA bertanggung jawab atas pelaksanaan anggaran di unit kerjanya, termasuk menyetujui rencana kegiatan dan pembiayaan. Sementara PPK bertugas mengikat perikatan atau kontrak sesuai program yang telah ditetapkan. Keduanya merupakan pelaksana kebijakan yang ruang geraknya dibatasi oleh regulasi internal, petunjuk teknis, dan sistem pengendalian internal.

Ketika sebuah kebijakan bersumber dari keputusan politik atau regulasi lintas kementerian, dan KPA atau PPK hanya menjadi pelaksana teknis, maka harus diuji secara saksama apakah mereka memiliki kendali penuh, atau hanya menjalankan fungsi administratif.

Putusan Tom Lembong menyiratkan doktrin baru, bahwa pejabat yang melaksanakan kebijakan, meskipun tidak memiliki niat jahat dan tidak menerima keuntungan, tetap bisa dijatuhi pidana jika tindakannya menimbulkan kerugian negara.

Menurut penulis Ini berbahaya. Pertama, hal ini dapat menciptakan chilling effect bagi pejabat negara dalam mengambil keputusan. Kedua, ia memicu ketakutan yang berlebihan dan mengarah pada stagnasi birokrasi. Ketiga, ia menggeser fokus pemberantasan korupsi dari niat jahat (corrupt mind) menjadi sekadar kesalahan administratif yang diangkat menjadi kejahatan.

Jika hal ini diterapkan secara masif, maka setiap kepala daerah, kepala dinas, bahkan bendahara desa, yang menandatangani dokumen anggaran atau menyetujui pelaksanaan kegiatan, dapat menjadi tersangka jika di kemudian hari terbukti merugikan keuangan negara tanpa perlu dibuktikan terlebih dahulu adanya motif memperkaya diri atau orang lain, atau pelanggaran hukum yang disengaja.

Padahal, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 25/PUU-XIV/2016 telah menegaskan bahwa kerugian negara dalam tindak pidana korupsi harus bersumber dari perbuatan melawan hukum dan adanya niat jahat. Konsekuensi ini bukan sekadar aspek legalistik, tapi menyangkut perlindungan hukum bagi pejabat negara yang menjalankan fungsi publik secara profesional.

Aspek lain yang muncul dalam perkara ini adalah anggapan bahwa kebijakan impor memperkuat dominasi kapitalisme dan mengorbankan kepentingan rakyat. Kritik terhadap arah kebijakan tentu sah, bahkan penting dalam demokrasi. Namun menilai kebijakan sebagai bentuk korupsi karena dianggap pro-pasar adalah penyimpangan logika hukum.

Korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok, bukan pilihan kebijakan yang tidak populer. Menyempitkan kebijakan publik ke dalam kerangka hukum pidana akan menghancurkan otonomi teknokratik pemerintahan, dan justru membuka ruang intervensi politik dalam proses hukum.

Sebagai negara hukum, Indonesia wajib menempatkan perbedaan yang tegas antara kebijakan publik (policy discretion) dengan tindak pidana korupsi. Tidak semua kerugian negara merupakan hasil dari kejahatan. Bisa saja kerugian itu lahir dari kebijakan yang salah hitung, atau kondisi pasar yang berubah drastis. Bila setiap risiko kebijakan dijadikan dasar pemidanaan, maka hukum akan berubah menjadi alat intimidasi, bukan keadilan.

Oleh karena itu, menurut hemat penulis, dalam konteks tata kelola keuangan negara, mekanisme pertanggungjawaban yang proporsional adalah audit dan pengawasan internal. BPK, Inspektorat, dan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) memiliki peran strategis dalam mengkoreksi kesalahan kebijakan dan pelaksanaan anggaran. Tidak semua kesalahan administratif bermuara pada delik pidana.

Namun ketika ditemukan adanya rekayasa, manipulasi, kolusi, atau konflik kepentingan yang disengaja, barulah unsur mens rea dan perbuatan melawan hukum dapat ditegakkan. Inilah prinsip keadilan substantif dalam hukum pidana korupsi.

Dengan demikian, penting untuk kembali pada asas-asas dasar hukum pidana. Bahwa pidana adalah ultimum remedium, jalan terakhir, bukan respons utama terhadap semua kekeliruan dalam birokrasi. Bahwa pejabat publik perlu diberi ruang aman untuk bekerja, tanpa takut dikriminalisasi karena keputusan yang diambil secara jujur dan berdasarkan data yang tersedia.

Kasus Tom Lembong harus menjadi momen reflektif: apakah kita masih setia pada hukum, atau telah menjadikan hukum sebagai alat pembenaran moral yang membingungkan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You cannot copy content of this page

error: Content is protected !!